Monday, May 19, 2008

Framework Java

Berikut catatan sekilas hasil eksplorasi beberapa framework Java untuk aplikasi berbasis Web:

  • Oracle ADF (included in JDev 11 TP 4): hasil coba sana-sini kelihatannya lumayan powerful. Buat aplikasi CRUD sederhana bisa dilakukan dalam waktu singkat, namun sangat bergantung pada IDE Oracle JDeveloper, dengan menggunakan fitur klik-klak sana sini. Untuk front-end disediakan library ADF Rich Faces yang berbasis JSF dan AJAX, sehingga tampilannya pun lumayan, bisa dengan mudah membuat tampilan table yang fleksibel, lengkap dengan scrolling dan fitur edit row dengan double click. Masalah dengan ADF adalah untuk deployment ADF tidak free

  • Apache Struts 2: relatif lebih simple dibandingkan Struts 1, hanya dengan koding sedikit bisa membuat aplikasi baca-tulis form. Validasi form, konversi data dan penanganan data dari/ke parameter HTTP disediakan oleh framework. Sayangnya belum ada plugin yang memudahkan pengembangan aplikasi di atas Netbeans, sehingga koding harus diketik manual. Front-end berbasis JSP, dan disediakan beberapa komponen berbasis AJAX, namun belum selengkap ADF Rich Faces.

  • JBoss Seam: Tampaknya cukup menjanjikan, tapi belum sempet coba. Front-end berbasis JSF.

  • Apache Shale: Belum sempet coba juga. Front-end berbasis JSF


Untuk front-end, ada beberapa pilihan:

  • JSP: standar

  • JSF: ada beberapa library JSF dari Apache yang cukup menarik (trinidad)

  • GWT (Java - Javascript)

Thursday, August 23, 2007

carrier grade linux

"Carrier-grade" dalam industri telekomunikasi berarti perangkat atau sistem yang memiliki availability 99.999%, yang dapat dihitung sebagai downtime maksimum per-tahunnya hanya 5 menit saja.

Perangkat telekomunikasi yang memiliki kemampuan level carrier-grade umumnya dikembangkan secara proprietary, menggunakan skema pengembangan tertutup dan berharga sangat mahal. Pola pengembangan ini juga mengakibatkan pengembangan fitur-fitur baru menjadi lebih lambat, karena masing-masing pemain harus mengembangkan segala sesuatunya dari awal atau harus berhubungan dengan berbagai komponen yang tidak standar dan mahal.

CGL (Carrier Grade Linux) adalah upaya untuk memangkas biaya peralatan telekomunikasi serta mempercepat proses pengembangan produk, dengan mengembangkan spesifikasi standar pada level sistem operasi untuk mendukung pengembangan perangkat yang memiliki kemampuan level carrier-grade.

CGL versi 4, berisi spesifikasi wajib dan opsional di bidang availability, scalability, manageability, dan performance (response time) yang harus disediakan sistem operasi (dan lapis perangkat keras di bawahnya) agar dapat digunakan untuk perangkat level carrier-grade.

Pada level di atas sistem operasi, SA Forum mengembangkan standar spesifikasi AIS (Application Interface Specification), yaitu API-API yang dapat dimanfaatkan oleh aplikasi level carrier-grade.

Monday, September 04, 2006

secercah harapan

"Now it is looking good..." , komentar sang profesor saat saya menyerahkan draft 'terakhir' berdasarkan masukan yang diberikannya sehari sebelumnya. Hati lega, membayangkan sebentar lagi bisa berkumpul kembali dengan vera, isha dan insya Allah dedek yang masih saat ini berselimut nyaman di dalam rahim mamanya.

Namun perasaan lega tersebut tidak berlangsung lama. Sehari kemudian, muncul kembali email singkat dari prof yang berisi: "I have some comments on your chapters..". Ketika saya temui, beliau kembali memberikan kritik-kritik. "This part is fine. I've added some words to make it better..". Kemudian muncullah serentetan komentar yang mengharuskan perubahan lumayan banyak... Hkk... kembali menarik napas...

.................

Hari ini (jumat) batas akhir menyerahkan thesis, dan perubahan terakhir pun belum lagi dikoreksi kembali oleh si prof. Ah iya, mesti ngelengkapin form buat pengajuan thesis, yang sekarang lagi dipegang oleh sekertaris profesor saya. Saat pergi ke ruangannya, rekan seruangannya bilang, "catherine is ill today. she won't be back until monday...". Jadi inget sama kartun ini: http://www.phdcomics.com/comics/archive.php?comicid=616. Meski belum sampe tahun ketujuh, tapi saat ini saya memang serasa udah jadi TPS*.

Balik ke ruangan, ada lagi email dari prof, "I have some comments on your chapters..". Kayaknya ini email yg sama dengan yg kemarin, cuma dikirim ulang lagi. Saat ke ruangannya, beliau bilang kalo lebih baik dilakukan sekali lagi revisi untuk perbaikan. Yaahh.. gimana nih. Deadline hari ini lewat dong... Tapi si prof menenangkan saya, bahwa lewat waktu 1 minggu masih bisa ditoleransi sama graduate school. Ok lah. Lega sementara.

............

Hari senin saya serahkan revisi thesis. Hari selasa datang kembali email yang sangat familiar: "I have some comments on your chapters..". Waa... alamat belum bisa submit minggu ini nih.
Bergegas saya ke ruangan si prof, yang kemudian memberikan sebagian bab dari draft thesis, disertai beberapa catatan yang harus saya tambahkan/ubah. Tapi alhamdulillah, revisi yang sekarang gak repot lagi, hanya memindahkan komentar/perubahan yang dia berikan ke dalam thesis. Sayangnya, sebagian lagi dari draft belum sempat ia koreksi, dan dia bakal harus keluar kota hingga senin depan.

......................

*TPS: Tenure Postgrad Student

Monday, June 05, 2006

literary decision

Suatu waktu, saya tertarik dengan kata literary decision. Penasaran dengan makna kata tersebut, dan dari kamus, ketemu arti yang kira-kira sebagai berikut: "keputusan yang diambil (oleh penulis/pengarang/pencerita) demi memenuhi kebutuhan bersifat literatur, atau penulisan semata, bukan untuk tujuan lain, seperti misalnya menampilkan kebenaran atau fakta apa adanya".

Saya kembali teringat dengan istilah ini, saat membaca tulisan emha tentang saridin. Sebuah kisah yang menarik, yang mengingatkan kita kepada makna syahadat. Di sini, fakta tentang apakah peristiwa itu memang terjadi atau tidak bukanlah hal yang penting, bukanlah esensi dari tulisan tersebut. Bisa jadi ini hanya kisah rekaan, semata-mata untuk menceritakan pesan inti yang dimaksud, yaitu makna syahadat itu sendiri.

Setiap orang menulis dengan satu atau lebih tujuan tertentu. Dalam memaparkan pikirannya, sang penulis terkadang tidak terpaku pada penulisan fakta per se, namun lebih mementingkan makna yang tersampaikan, sehingga ia tidak ragu menggunakan kiasan, kisah-kisah rekaan untuk menjelaskan gagasannya. Hal ini, menurut saya, umum terjadi di mana-mana, terutama dalam karya seni atau pun tulisan yang bersifat persuasif, yang bertujuan semata-mata untuk mempengaruhi pola pikir pembaca. Tergolong dalam kelompok ini misalnya, novel yang dibuat dalam konteks sejarah, seperti tulisan-tulisan pramoedya ananta toer, atau karya sastra jawa kuno yang sering dianggap sebagai sumber sejarah oleh para pakar.

Sayangnya, meski sering dianggap sebagai sumber sejarah, dari karya sastra seperti ini kita tidak pernah bisa mana yang merupakan fakta, dan mana yang hanya cerita rekaan. Tentu saja ini wajar, karena karya tersebut memang tidak pernah dari awalnya diniatkan untuk menjadi sumber fakta, namun sebagai sumber inspirasi, sebagai alat mempengaruhi masyarakat pembaca.

Thursday, March 30, 2006

Silver bullet ...

Hari ini, saya membaca ulang tulisan Fred Brooks tentang software development (No silver bullet-essence and accident in software engineering) . Entah kapan saya dulu membacanya, namun meski merasa udah pernah baca, pas dibaca ulang banyak hal baru menarik. Inti artikel adalah bikin software itu sulit, dan tidak ada silver bullet (senjata pamungkas) yang mampu membuatnya lebih mudah.

Brooks membagi permasalahan dalam mengembangkan software ke dalam dua kelompok, essence dan accidents. Essence adalah sesuatu yang inheren ada dalam software, dan tidak bisa dihindari, sementara accidents adalah hal-hal yang diluar itu. Di antara masalah yang tergolong essence antara lain kompleksitas, keselarasan (conformity), kedapat-berubahan (changeability) dan ketakterlihatan (invisibility).

Kompleksitas, karena setiap elemen dari sebuah software adalah unik, tidak ada yang sama. Keselarasan menjadi masalah karena software didesain oleh manusia, bukan Tuhan. Hal ini berbeda dengan bidang fisika yang selalu berusaha mengembangkan teori sederhana tentang alam, seperti halnya Einstein yang sangat yakin tentang adanya penjelasan yang sederhana tentang alam, karena Tuhan itu tidak bermain-main dalam mencipta alam.


bersambung

Saturday, September 03, 2005

antara gombal dan bullshit

Orang Indonesia memang terkenal ramah sejak dulu. Bayangkan, untuk istilah yang mengandung arti ber-omong kosong, kita menggunakan kata gombal, yang berarti kain usang yang digunakan untuk membersihkan debu. Sementara, padanan kata yang serupa dalam bahasa Inggris adalah bullshit, alias tahi sapi.

Kata tukang gombal sering dipakai untuk mereka yang sering bikin janji-janji surga. Biasanya, mereka yang sedang pacaran, sarat dipenuhi dengan aroma gombalisme. Namanya sebuah janji, umumnya mengacu ke peristiwa di masa depan, yang belum tentu bisa dipastikan kebenarannya. Di sini, gombal jelas berbeda dengan ngibul atau bohong, karena tukang gombal memang tidak atau belum berbohong, meski umumnya dia akan berubah menjadi tukang kibul, jika ternyata di masa depan janjinya terbukti palsu. Hal yang pasti dilakukan oleh para tukang gombal adalah mereka tidak bersungguh-sungguh berusaha untuk memenuhi janjinya.

Memang, deskripsi gombal di atas sedikit berbeda dengan istilah bullshit. Kata bullshit, umumnya tidak dikaitkan dengan janji, namun mengandung unsur yang sama, yaitu pernyataan mengawang yang diucapkan oleh mereka yang tidak peduli atau tidak bersungguh-sungguh berusaha mencari kebenaran dari apa-apa yang diucapkannya. Bullshit, menurut Harry G. Frankfurt, seorang profesor di bidang filosofi dari Princeton, adalah tindakan yang lebih buruk dibandingkan dengan berbohong. Mengapa? Bullshit adalah hasil dari sikap yang tidak peduli terhadap kebenaran. Orang yang berbohong masih memiliki kesadaran akan mana yang fakta yang benar dan mana yang salah, sementara mereka yang ber-omong kosong, sama sekali tidak berusaha dan tidak peduli akan kebenaran.

Fenomena gombal dan bullshit terjadi di mana-mana, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, dan menurut Frankfurt, ini disebabkan karena orang memang cenderung untuk berbicara panjang lebar tentang hal-hal yang tidak diketahuinya. Motivasinya bisa macam2, misalnya karena ingin pamer, atau justru karena merasa rendah diri sehingga obral ucapan supaya merasa diri hebat. Terlebih lagi, dalam era Internet saat ini, gombal dan bullshit diproduksi secara massal. Di milis, di koran, blog, radio, televisi, telpon dan berbagai media lainnya. Kalo saya bilang, tingkat produksinya mencapai 100 bullshit per detik, jelas ini termasuk bullshit juga, karena memang tidak ada data pendukungnya.

Ada entri menarik di wikipedia tentang bullshit. Di sana disebutkan asal-muasal kata bullshit, yang katanya dari kata perancis 'boul', dan ada juga yang bilang dari kata cina. Tapi ada lagi yang menurut saya cukup menarik, yaitu situasi kapan bullshit ini sering digunakan. Menurut artikel tersebut, bullshit digunakan saat nilai kebenaran dianggap tidak penting jika dibandingkan respons penerima yang diharapkan saat peristiwa bullshit itu terjadi. Ini bisa diambil contoh misalnya dalam kasus orang pacaran di atas. Si tukang gombal dan yang digombali (ahli gombal? *) memang sama2 mau. Yang satu lagi merayu, yang satunya lagi juga ingin digombalin. Dalam dunia bisnis, bullshit sering dipakai untuk menarik minat konsumen. Misalnya saja bisnis seminar NLP atau positive thinking yang sekarang marak di Indonesia. Mereka umumnya mengandalkan klaim-klaim yang tidak bisa dibuktikan nilai kebenarannya. Dan soal nilai kebenaran ini bukan masalah bagi sang penyelenggara, sepanjang ada konsumen yang siap membayar mahal untuk mengikuti seminar tersebut.

Dalam dunia politik, bullshit digunakan misalnya untuk mendapatkan popularitas. Sekarang coba kita lihat kalimat seperti ini: "I don't care about my popularity", yang justru digunakan untuk mendapatkan popularitas. Belakangan, terlihat banyak sikapnya yang ragu-ragu akibat takut tidak populer. Tapi.. nanti dulu. Jika seseorang bilang bahwa dia tidak perduli dengan popularitas, sebenarnya hanya dia sendiri yang tahu apakah dia berkata benar atau tidak. Ini jelas bukan gombal atau pun bullshit. Karena gombal dan bullshit sangat terkait dengan sikap ketidak pedulian akan kebenaran atau pelaksanaan janji. Di kasus ini, kalo ternyata dia sebenarnya peduli sama popularitasnya sendiri, maka jelas, tidak lain dan tidak bukan, dia termasuk golongan tukang kibul.

catatan:
*) ahli gombal: orang yang menerima gombal. Diambil dari pola ahli waris dan pewaris.

Monday, June 06, 2005

review buku

judul: The History of The Qur'anic Text, from revelation to compilation. A comparative study with the Old and New Testaments.
pengarang: M.M. Al-Azami.
penerbit: UK Islamic Academy, Leicester, England. 2003.

Awalnya, tertarik dengan buku ini saat ada kawan mengirimkan artikel di republika yang berjudul "Selamat Datang, Profesor Azami". Artikel ini kemudian ditanggapi secara negatif dan naif oleh dua orang penulis lainnya di harian tersebut, yang kemudian dikoreksi balik oleh Adnin Armas pada tulisannya yang berjudul "Orientalis dan Studi Al Quran". Sederetan tulisan tersebut membuat saya tertarik untuk mencari tahu lebih detil tentang buku dan pengarang yang dimaksud.

Azami adalah seseorang yang berlatar belakang pakar hadits. Lahir di India, dan menempuh S1 di India, menyelesaikan master universitas Al-Azhar, Kairo dan meraih PhD di University of Cambridge, pada tahun 1966. Beliau mulai menulis buku The History of Quran saat membaca tulisan di The Atlantic Monthly (Jan 99) yang menyebutkan bahwa keaslian Quran tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tulisan tersebut mengutip berbagai teori dari 'pakar' orientalis, seperti Muir, Puin, Rippin, Humphreys, Wansbrough etc, yang umumnya berlatar belakang non muslim. Malangnya, sebagian kaum muslim pun ikut tertipu oleh para 'pakar' ini, sehingga mendorong Azami untuk membuat buku khusus untuk membahas sejarah Quran, dalam bahasa non-Arab, yaitu bahasa Inggris (buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).

Buku ini terdiri atas 20 bab, bab 1-13 membahas tentang sejarah Al-Qur'an, bab 14-17 membahas tentang sejarah bible, dan 3 bab terakhir membahas berbagai tingkah laku para Orientalis dalam rangka 'membuktikan' kesalahan Al-Quran.

Buat saya pribadi, sangat banyak hal-hal tentang Al-Qur'an yang baru saya ketahui setelah membaca buku ini, seperti proses pengumpulan mushaf Quran yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Abu Bakar dan Utsman, sejarah sistem penulisan Arab serta penggunaan tanda baca pada Al Qur'an, termasuk berbagai klaim yang dituduhkan oleh para orientalis, seperti dugaan perubahan yang dilakukan oleh Al Hajjaj, ayat-ayat yang hilang/ditambahkan dan banyak hal lainnya. Oleh prof. Azami, kesemua hal ini dibahas secara rinci lengkap dengan referensi serta berbagai ilustrasi, seperti gambar mushaf-mushaf Al-Quran yang ditulis sejak abad pertama Hijriyah yang sampai saat ini masih tersimpan di berbagai lokasi di dunia.

Sebagai penutup, ada satu website yang cukup lengkap juga dalam membahas materi seputar sejarah Al-Qur'an dan berbagai klaim yang dituduhkan para orientalis: http://www.islamic-awareness.org.